Pengangkatan Syafrin sebagai Kadishub DKI melalui mekanisme lelang jabatan terbuka pada 8 Juli 2019 menunjukkan bahwa ia terpilih secara kompetitif. Saat itu ada tiga kandidat terbaik: Sigit Wijatmoko, Syafrin Liputo, dan Massdes Arouffy.
Baca Juga:
Soal Kredit Macet Otomotif, Perusahaan Leasing Buka-bukaan
Ketika itu, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memilih dan menetapkan Syafrin sebagai pejabat definitif Kadishub DKI Jakarta. Diketahui bahwa Syafrin juga telah menempuh masa jabatan yang panjang di berbagai posisi, mulai dari kariernya di Dishub DKI sejak tahun 2000, kemudian bertugas di BPTJ dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, hingga menjabat sebagai Kepala Balai Pengelola Transportasi Darat wilayah Bali dan NTB.
Selama lebih dari enam tahun menjabat sebagai Kadishub DKI Jakarta, Syafrin telah mengelola anggaran publik dari APBD DKI Jakarta dalam jumlah triliunan rupiah. Dalam hal ini, masyarakat berhak mengetahui total anggaran yang dikelola, bagaimana penggunaannya, serta sejauh mana relevansinya dengan hasil yang dicapai.
Pertanyaan penting adalah apakah dana tersebut telah benar-benar mengatasi kemacetan, mempercepat implementasi ERP, dan menyelesaikan berbagai persoalan transportasi Jakarta. Transparansi pengelolaan anggaran menjadi kebutuhan publik yang tidak boleh diabaikan.
Baca Juga:
Atasi Kemacetan, Pemkab Tangerang Siap Dukung Perluasan Transjabodetabek
Di tengah berbagai program yang telah dijalankan, kebutuhan penyegaran kepemimpinan tetap kuat. Terlalu lamanya masa jabatan dapat menimbulkan kecenderungan stagnasi dalam penyusunan kebijakan jangka panjang.
Dalam konteks tersebut, aspirasi baru dari warga, akademisi, dan birokrat muda mungkin tidak terserap secara optimal apabila struktur kepemimpinan terkesan terlalu mapan. Padahal, tantangan transportasi Jakarta terus berkembang, mulai dari kemacetan kronis, polusi udara, hingga kebutuhan integrasi lintas moda dan digitalisasi layanan.
Pergantian pimpinan Kadishub DKI juga merupakan perwujudan dari sistem merit. Selain itu, menjadi penting bahwa jabatan strategis tidak hanya dijaga demi stabilitas, tetapi juga harus memberikan ruang bagi pemimpin baru dengan energi dan gagasan yang berbeda. Hal ini bukan berarti menilai Syafrin tidak layak, melainkan justru bentuk penghargaan atas kompetensinya sekaligus membuka peluang karier yang lebih luas baginya. Rotasi jabatan dapat menjadi momentum konstruktif bagi semua pihak.