Sebagai rujukan logis, organisasi solid seperti TNI dan Polri dapat dijadikan contoh. Kedua institusi tersebut dikenal konsisten menerapkan pola mutasi, rotasi, dan pergantian pejabat secara teratur untuk menjaga kinerja organisasi dan memperkuat efektivitas lembaga. Mekanisme inilah yang seharusnya menginspirasi pemerintah daerah dalam membangun birokrasi yang profesional dan adaptif.
Syafrin mulai menjabat sebagai Kadishub DKI sejak era Gubernur Anies Baswedan, berlanjut pada masa Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono dan Teguh Setyabudi. Pada masa Gubernur Pramono Anung Wibowo, hasil Pilkada 2024–2029, yang telah hampir sembilan bulan menjabat, Kadishub DKI Syafrin masih belum tergantikan.
Baca Juga:
Soal Kredit Macet Otomotif, Perusahaan Leasing Buka-bukaan
Masa jabatan Kadishub DKI Jakarta, Syafrin Liputo, yang telah melebihi enam tahun—bahkan melampaui masa jabatan gubernur itu sendiri—secara rasional sudah perlu dievaluasi. Dalam tata kelola pemerintahan yang sehat dan dinamis, pergantian pejabat pada instansi strategis seperti Dinas Perhubungan penting dilakukan untuk menyegarkan kinerja. Pergantian juga dapat menghadirkan energi baru serta menjaga keberlanjutan merit system melalui regenerasi kepemimpinan.
Masalah lain dari lamanya masa jabatan Kadishub DKI Jakarta adalah potensi munculnya “raja kecil” di lingkungan Dishub. Kondisi seperti ini juga berpotensi dapat menimbulkan kepemimpinan yang terlalu sentralistik dan membuka ruang bagi praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Selain itu, masa jabatan Syafrin Liputo yang telah berlangsung lebih dari enam tahun juga dapat dipandang sebagai kegagalan Pemprov DKI Jakarta dalam melakukan pembinaan terhadap pejabat karier lainnya. Seolah-olah tidak ada lagi pejabat yang mampu menggantikan posisi tersebut. Apabila kondisi ini benar terjadi, maka hal tersebut menunjukkan adanya masalah serius dalam tata kelola dan manajemen birokrasi di Pemprov DKI Jakarta.
Baca Juga:
Atasi Kemacetan, Pemkab Tangerang Siap Dukung Perluasan Transjabodetabek
Singkatnya, masa jabatan yang terlalu lama berpotensi menimbulkan kejenuhan dan kebosanan dalam birokrasi serta menciptakan stagnasi. Siklus kebijakan dapat menjadi repetitif, kreativitas terhambat, dan inovasi baru sulit muncul. Jika pejabat tidak mengalami rotasi, ruang bagi masuknya gagasan segar dari generasi baru birokrat juga dapat semakin menyempit.
Sementara itu, pegawai lain berpotensi kehilangan motivasi karena perkembangan karier mereka terasa tersendat ketika posisi puncak tidak berubah dalam jangka waktu panjang. Hal ini dapat melemahkan sistem merit yang seharusnya memberikan kesempatan adil bagi ASN berprestasi untuk naik kelas.
Dari sisi keadilan karier, pergantian juga penting untuk Syafrin sendiri. Walaupun telah memegang jabatan eselon II selama lebih dari enam tahun, rekam jejak kariernya belum memperlihatkan pengalaman di jabatan eselon II lainnya. Memberikan peluang baginya untuk mengisi posisi berbeda — seperti Asisten Sekda atau Asisten Deputi Gubernur — justru menjadi bagian dari pengembangan karier yang sehat dan mencegah terjadinya stagnasi profesional.