MetroJakartaNews.id | Sidang kasus pemalsuan atau membuat keterangan palsu dalam penerbitan lima sertifikat dengan terdakwa Aspah Supriadi, Muhammad Bilal, dan Eko Budianto kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (20/10).
Kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yerick Sinaga, SH dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menghadirkan saksi ahli agraria, Sodikin, SH untuk didengarkan keterangannya dalam sidang dakwaan melangar Pasal 263, 266 KUHP.
Baca Juga:
Polres Metro Jakarta Utara Memusnahkan Narkotika Senilai Rp2 Miliar Lebih
Dalam keterangannya di hadapan Hakim Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Sodikin SH mengatakan bahwa pendaftaran tanah untuk pertama kali telah dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Dasar hukum PTSL dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016.
Menurutnya, Panitia Ajudikasi beranggotakan seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) dari bidang pengukuran dan pendaftaran tanah, seorang dari bidang pengurusan hak atas tanah, serta kepala desa/kepala kelurahan setempat.
Baca Juga:
Adam Deni Gearaka Didakwa Pasal Fitnah dan Pencemaran Nama Baik
“Tetapi lurah bisa juga tidak menandatangi dokumen,” ujar Sodikin menjawab JPU terkait keterlibatan lurah dalam Panitia PTSL.
Persyaratan pengajuan sertifikat, ialah KTP pemohon, KK pemohon, surat lokasi tanah, dokumen alas hak penguasaan lahan, dan surat pernyataan tidak sengketa.
“Dokumen inilah yang diajukan ke kantor BPN setempat. Dan untuk selanjutnya Kepala Kantor BPN setempat membentuk panitia untuk melakukan penelitin dan pengukuran ke lokasi,” ungkap odikin.
Dia melanjutkan bahwa nantinya ada Satgas Yuridis mencari dan meneliti dokumen pemohon untuk mengetahui dengan dasar apa tanah tersebut diperoleh. Jual beli, hibah, warisan, atau tukar-menukar. Termasuk di dalamnya riwayat kepemilikan tanah.
Meneliti identitas pemegang hak, disebut juga kepastian subyektif. Gunanya untuk memastikan siapa pemegak hak atas tanah tersebut dan apakah dia benar-benar mendapatkan tanah dengan sah.
Satgas fisik bertugas untuk menyelidiki letak dan luas tanah. Hal ini merupakan kepastian obyektif yang dinyatakan dalam bentuk surat ukur/gambar situasi (GS) untuk memastikan letak, batas, bentuk, dan luas tanah tersebut.
Dengan demikian, tanah yang dimaksud tidak tumpang tindih dengan tanah milik orang lain dan memastikan obyek tanah tersebut tidak fiktif.
Untuk persyaratan dan prosedur penerbitan, harus memenuhi azas pembeli sitas, yaitu dengan mengumumkan kepada kantor kelurahan atau pertanahan setempat tentang adanya permohonan hak atas tanah tersebut agar pihak lain yang merasa keberatan dapat mengajukan sanggahan sebelum pemberian hak (sertifikat) itu diterbitkan.
Pengumuman tersebut hanya perlu untuk pemberian sertifikat baru, bukan balik nama.
Terkait penguasaan tanah adat atau tanah negara, Sodikin mengatakan, diatur dalam Peraturan Menteri ATR / Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan PTSL.
Bahwa PTSL adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Sodikin menjelaskan, yang pertama hadir saat pengukutan tanah adalah orang yang mengajukan permohonan sertifikat. Kemudian disaksikan oleh pemilik tanah yang batas-batas tanahnya, bagian utara, bagian barat, bagian selatan dan bagian timur, yang disaksikan pemerintah setempat.
Kemudian, dilanjutkan Sadikin, jika ada persyaratan yang tidak dilengkapi pemohon, sertifikat tidak bisa diterbitkan. “Penuhi dulu persyaratan, baru sertifikat diterbitkan. Tidak boleh ada keraguan. Jadi itulah fungsi Quality Control harus Clear and Clean,” tegas Sodikin dalam persidangan.
Jika terjadi diluar hal tersebut, harus diproses dengan hukum positif. “Setiap pelanggaran ada sanksi hukumnya,” tegasnya.
Sodikin juga menegaskan bahwa petugas PTSL boleh menerima uang atas jasanya dari pemohon. Pengajuan sertifikat dalam satu lokasi juga tidak dapat dipecah-pecah. “Nanti terkait hak waris bisa dipecah setelah penerbitan sertifikat,” ujarnya menjawab pertanyaan JPU.
Kemudian, tidak boleh luas tanah yang dimohonkan pengukuran berbeda dengan luas tanah yang diterbitkan di sertifikat.
“Kan, pada saat dilakukan pengukuran itu sudah jelas ada pencatatan berapa meter yang diajukan. Maka seluas itulah yang diukur dengan disaksikan para saksi. Jika berbeda, itu adalah cacat adminstrasi, harus dibatalkan,” tegasnya.
Pada persidangan sebelumnya terungkap, uang sejumlah Rp320 juta mengalir kepada Panitia PTSL untuk menerbitkan 5 sertifikat atas nama Aspah Supriadi.
Saksi Budi Prianto mengantarkan uang Rp240 juta kepada Ketua Panitai PTSL, terdakwa Muhammad Bilal atas perintah terdakwa Aspah Supriadi melalui Rohin.
Budi juga menyerahkan uang kepada saksi Sunanto Adi Saputra. Dan saksi Gagat Trio S mengaku merima Rp50 juta dari terdakwa Eko Budianto.
Dari proses persidangan terungkap ada tujuh saksi yang berpotensi menjadi tersangka dalam kasus tanah ini. Tiga terdakwa itu bersama kelompoknya telah bekerja sama menerbitkan lima sertifikat tanah atas nama Aspah Supriadi tahun 2020, di atas tanah milik H. Waluyo.
H. Waluyo sendiri telah menempati lahan sejak tahun 1992 sampai dengan sekarang. Tetapi ketika hendak meningkatkan surat tanahnya dari Girig ke sertifikat, baru diketahu bahwa sudah ada terbit sertifikat atas nama Aspah Supriadi di atas tanah.
H. Waluyo mengaku tidak pernah mengetahui adanya pengukuran terhadap lahan yang dikuasai dan dibuatnya tempat tinggalnya yang sekaligus juga tempat usaha sejak tahun 1992. [stp]