Waduk Jatiluhur adalah infrastruktur air strategis nasional. Dibangun pada 1957–1967 dengan dukungan Bank Dunia dan dikerjakan oleh kontraktor Prancis CFE, waduk ini memiliki kapasitas tampung lebih dari 2,4 miliar m³ air dan berfungsi sebagai irigasi, PLTA, pengendali banjir, dan sumber air baku utama Jabodetabek. Potensi jebolnya waduk ini akan menimbulkan dampak beruntun berskala nasional. Gelombang banjir besar akan menghantam Purwakarta, Karawang, dan Bekasi, melumpuhkan permukiman, jalur kereta, kawasan industri, dan infrastruktur energi. Gangguan terhadap PLTA akan memengaruhi pasokan listrik industri di Jawa Barat dan Jakarta. Krisis air bersih tak terhindarkan karena PAM Jaya dan industri Jabodetabek menggantungkan pasokan dari sistem Jatiluhur–Tarum Barat.
Kerusakan industri di Karawang dan Bekasi akan mengganggu rantai pasok nasional, memukul logistik, manufaktur, dan kegiatan perdagangan Indonesia. Di tingkat provinsi, Jawa Barat akan menghadapi bencana kemanusiaan besar, migrasi penduduk, gagal panen, serta beban pemulihan sosial-ekonomi jangka panjang. Jakarta akan terkena dampak berupa krisis air, potensi banjir kiriman, dan terganggunya pasokan energi dan industri.
Baca Juga:
PLN Pulihkan 93% Kelistrikan Aceh, Presiden Prabowo Apresiasi Kolaborasi Semua Pihak
Karena itu, potensi jebolnya Waduk Jatiluhur, betapapun ekstrem sifatnya, harus diperlakukan sebagai peringatan serius. Perawatan berkala bendungan, evaluasi struktur, manajemen sedimentasi, dan rehabilitasi menyeluruh DAS hulu merupakan keharusan mutlak. Kerusakan hutan, erosi, dan sedimentasi adalah faktor risiko nonteknis yang sepenuhnya dapat dicegah bila pemerintah pusat dan daerah bertindak cepat dan tegas. PLT, pemerintah daerah, hingga perusahaan air minum daerah seperti PAM Jaya harus terlibat dalam satu kesatuan strategi nasional.
Kesiapsiagaan negara menjadi kunci utama. Mengingat posisi strategis Waduk Jatiluhur bagi Indonesia, upaya mencegah kegagalan bendungan bukan sekadar isu teknis, melainkan agenda keamanan nasional yang memerlukan perhatian penuh, koordinasi lintas lembaga, dan keberlanjutan kebijakan.
[Redaktur: Alpredo Gultom]