METROJAKARTANEWS.ID, Jakarta - Pertanyaan mengenai kemungkinan Waduk Jatiluhur jebol layak dianalisis serius, terutama ketika dikaitkan dengan faktor-faktor nonteknis seperti banjir bandang dan longsor. Dalam konteks perubahan iklim, kerusakan ekosistem hutan, dan degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS), segala bentuk bencana hidrometeorologi dapat terjadi secara tiba-tiba dan ekstrem, termasuk potensi kegagalan waduk terbesar di Indonesia tersebut. Banjir bandang dan longsor besar yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025 adalah contoh nyata betapa cepat dan dahsyatnya bencana yang dipicu kerusakan ekologis.
Penjelasan berbagai pakar dari WALHI, Greenpeace, hingga para akademisi menegaskan bahwa selain faktor hujan ekstrem, rusaknya fungsi hutan dan DAS menjadi penyebab utama bencana di Sumatra. Karena itu, menjaga hutan hulu Jatiluhur bukan hanya penting, tetapi wajib dilakukan oleh pemerintah pusat di bawah Presiden Prabowo Subianto, serta pemerintah daerah Jawa Barat di bawah Dedi Mulyadi (KDM), dan pemerintah DKI Jakarta di bawah Pramono Anung Wibowo. Seluruhnya memiliki keterkaitan erat dengan keamanan ekologis Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur sebagai satu kesatuan sistem hulu–tengah–hilir Sungai Citarum.
Baca Juga:
PLN Pulihkan 93% Kelistrikan Aceh, Presiden Prabowo Apresiasi Kolaborasi Semua Pihak
Waduk Jatiluhur memang dibangun sangat kokoh dan tahan gempa. Namun kekhawatiran mengenai potensi jebolnya waduk tidak bisa dianggap berlebihan jika melihat pola bencana yang berkembang. Banjir bandang dan longsor yang terjadi sangat cepat dan berada di luar dugaan banyak pihak, memperlihatkan bahwa faktor nonteknis seperti kerusakan hutan dan pendangkalan DAS dapat memberikan tekanan luar biasa terhadap sistem waduk. Dengan kerusakan serupa, risiko itu juga dapat menjangkiti Jatiluhur.
Pada 4 Desember 2025 terjadi banjir bandang di Desa Mukapayung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Arus air berwarna coklat pekat menyapu fasilitas umum, kawasan wisata Curug, dan kolam-kolam budidaya ikan milik BUMDes. Warna coklat pada aliran Sungai Cibitung menunjukkan indikasi kuat adanya lumpur dalam jumlah besar yang terbawa turun dari lereng-lereng bukit. Hal ini menunjukkan adanya erosi tanah yang signifikan, sebuah tanda serius dari kerusakan hutan dan DAS hulu.
Aliran Sungai Cibitung bermuara ke Waduk Saguling, yang posisinya berada dalam sistem satu aliran dengan Waduk Cirata di bawahnya, dan Waduk Jatiluhur di bagian hilir. Saguling dan Cirata berfungsi sebagai penyaring debit air menuju Jatiluhur. Artinya, gangguan besar pada Saguling dapat berurutan menimbulkan tekanan pada Cirata dan kemudian Jatiluhur.
Baca Juga:
Presiden Perintahkan KSAD Maruli Percepat Pemulihan Infrastruktur Aceh
Apabila banjir bandang yang membawa lumpur terus berulang akibat kerusakan hutan dan DAS, Waduk Saguling akan mengalami pendangkalan dan peningkatan tekanan internal. Pada titik tertentu, beban tersebut berpotensi melampaui kapasitas desain waduk. Jika Saguling gagal menahan beban, potensi jebol jelas terbuka. Situasi akan semakin parah karena Cirata—yang langsung menerima limpahan air dan sedimen dari Saguling—bisa mengalami tekanan besar yang sama. Jika Cirata pun tak mampu menahan beban, gelombang tekanan itu akan langsung mengarah ke Waduk Jatiluhur. Dengan demikian, kegagalan berantai dari Saguling dan Cirata dapat memicu ancaman kegagalan pada Jatiluhur.
Situasi ini menggarisbawahi pentingnya menjaga kawasan hulu secara serius. Hutan dan DAS di sekitar hulu Sungai Cibitung, Saguling, dan Cirata tidak boleh terganggu dalam bentuk apa pun. Kawasan hulu Citarum didominasi hutan lindung dan hutan produksi yang memiliki fungsi ekologis penting: menjaga keseimbangan hidrologis, menahan erosi, mencegah sedimentasi, serta menjamin pasokan air bersih ke waduk. Di area Saguling terdapat pula Hutan Komunitas Citarum yang dikelola oleh Bening Saguling Foundation, berfokus pada konservasi dan reboisasi. Kegiatan berbasis komunitas ini seharusnya diperkuat untuk menahan laju kerusakan lingkungan.
Sementara itu, area hulu Waduk Cirata dipengaruhi ekosistem hutan pegunungan seperti Gunung Wayang, serta kawasan lindung dan perkebunan yang memasok air ke wilayah Purwakarta, Cianjur, dan Bandung Barat. Adapun kawasan sekitar Jatiluhur sendiri tidak memiliki hutan alam, melainkan Hutan NARBO yang dikelola Perum Jasa Tirta II sejak 2006 sebagai bagian dari jaringan pemulihan lingkungan sungai di Asia. Upaya penghijauan rutin telah dilakukan, tetapi skala tantangan ekologis saat ini jauh lebih besar, sehingga memerlukan peningkatan pengawasan dan perluasan rehabilitasi hulu.
Waduk Jatiluhur adalah infrastruktur air strategis nasional. Dibangun pada 1957–1967 dengan dukungan Bank Dunia dan dikerjakan oleh kontraktor Prancis CFE, waduk ini memiliki kapasitas tampung lebih dari 2,4 miliar m³ air dan berfungsi sebagai irigasi, PLTA, pengendali banjir, dan sumber air baku utama Jabodetabek. Potensi jebolnya waduk ini akan menimbulkan dampak beruntun berskala nasional. Gelombang banjir besar akan menghantam Purwakarta, Karawang, dan Bekasi, melumpuhkan permukiman, jalur kereta, kawasan industri, dan infrastruktur energi. Gangguan terhadap PLTA akan memengaruhi pasokan listrik industri di Jawa Barat dan Jakarta. Krisis air bersih tak terhindarkan karena PAM Jaya dan industri Jabodetabek menggantungkan pasokan dari sistem Jatiluhur–Tarum Barat.
Kerusakan industri di Karawang dan Bekasi akan mengganggu rantai pasok nasional, memukul logistik, manufaktur, dan kegiatan perdagangan Indonesia. Di tingkat provinsi, Jawa Barat akan menghadapi bencana kemanusiaan besar, migrasi penduduk, gagal panen, serta beban pemulihan sosial-ekonomi jangka panjang. Jakarta akan terkena dampak berupa krisis air, potensi banjir kiriman, dan terganggunya pasokan energi dan industri.
Karena itu, potensi jebolnya Waduk Jatiluhur, betapapun ekstrem sifatnya, harus diperlakukan sebagai peringatan serius. Perawatan berkala bendungan, evaluasi struktur, manajemen sedimentasi, dan rehabilitasi menyeluruh DAS hulu merupakan keharusan mutlak. Kerusakan hutan, erosi, dan sedimentasi adalah faktor risiko nonteknis yang sepenuhnya dapat dicegah bila pemerintah pusat dan daerah bertindak cepat dan tegas. PLT, pemerintah daerah, hingga perusahaan air minum daerah seperti PAM Jaya harus terlibat dalam satu kesatuan strategi nasional.
Kesiapsiagaan negara menjadi kunci utama. Mengingat posisi strategis Waduk Jatiluhur bagi Indonesia, upaya mencegah kegagalan bendungan bukan sekadar isu teknis, melainkan agenda keamanan nasional yang memerlukan perhatian penuh, koordinasi lintas lembaga, dan keberlanjutan kebijakan.
[Redaktur: Alpredo Gultom]