Metrojakartanews.id | Sidang kasus penerbitan lima sertifikat atas nama Aspah Supriadi di atas lahan milik H Waluyo kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Jl. Gajah Mada, Jakarta Pusat, Kamis (27/10/2022).
Kali ini, dua saksi meringankan, Kasimin dan Sanusi, dihadirkan untuk terdakwa Aspah Supriadi, Muhammad Bilal dan Eko Agus Budianto.
Baca Juga:
Akibat Pungli Rp160 Juta, Mantan Lurah di Semarang Dihukum 4 Tahun
Dihadapan Majelis Hakim pimpinan Aloysius Priharnoto Bayuaji, SH, MH saksi Sanusi dan Kasimin mengakui mengenal terdakwa Aspah Surpiadi dan saksi Waluyo (korban) sebagai tetangga di Kampung Rawa, Semper Timur, Kec. Cilincing, Jakarta Utara, lokasi kejadian perkara.
Sanusi mengatakan, Waluyo sudah menempati lahan itu sejak tahun 1995. “Iya, tahu, tanah yang ditempati Pak Waluyo itu adalah tanah Gintong Bin Begang. Sementara tanah milik Main Bin Sinen di sebelah selatannya,” ujar Sanusi.
Tetapi Sanusi mengaku tidak mengetahu terkait adanya pengajuan pembuatan Sertifikat.
Baca Juga:
Polisi Minta Uang Damai Rp50 Juta Kasus Guru Supriyani Diperiksa Propam
Sementara saksi Kasimin dalam keterangannya mengaku menyaksikan pengukuran tanah oleh BPN di lokasi tanah Waluyo.
Kasimin mengakui adanya pengukuran di luar tembok tanah yang ditempati Waluyo. “Ada patok-patok sekelinglingnya,” kata Kasimin.
Kasimin menjelaskan, ada pengukuran kedua sebulan setelah pengukuran pertama. Tetapi pengukuran kedua itu dilakukan melalui satelit.
Menjawab pertanyaan JPU Yerich Sinaga, Kasimin mengatakan bahwa tim PTSL dalam pengukuran tanah yang disertifikatkan Aspah Supriadi itu tidak melibatkan kelompok masyarakat.
Tetapi mengetahui ada program sertifikasi melalui PTSL di lingkungannya. “Di Semper Timur ada, di tempat lain juga ada,” jawab Kasimin.
Kasimin juga mengaku bahwa saat pengukuran tidak melibatkan aparat pemerintah setempat, RT/RW.
Dalam perkara ini telah diperiksa lebih dari sepuluh orang saksi. Tujuh dari saksi yang telah diperiksa dipersidangan itu terkait dengan ketiga terdakwa yang diduga memilki andil dalam penerbitan sertifikat yang tidak dilengkapi dokumen itu.
Ketiga terdakwa itu diduga bagian dari mafia tanah. Pasalnya, para terdakwa dapat memilki/menerbitkan sertifikat walapun dokumen kelengkapan pendukung pengajuan sertifikatnya belum lengkap.
Sehingga ketiga terdakwa Aspah Supriadi, Muhammad Bilal dan Eko Agus Budianto terjebak saat membuat surat pernyataan Girig terdaftar di Notaris. Lebih mirisnya lagi, memanfaatkan Notaris yang sudah meninggal dunia.
Dan pada persidangan sebelumnya, saat agenda pemeriksaan terdakwa, Aspah Supriadi mengaku ada pejabat yang berjanji bisa mengelurkan serifikat dengan cepat.
Tetapi dalam perkara ini, pejabat yang disebutkan terdakwa Aspah Supriadi itu tidak masuk dalam daftar saksi dalam berkas perkara.
Sebagaimana diketahui dari hasil yang terungkap di persidangan sebelumnya, tim PTSL telah menerima uang Rp330 juta untum menerbitkan lima sertifikat atas nama Aspah Supriadi.
Padahal program PTSL ini adalah bantuan Presiden RI Joko Widodo untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan menerbitkan sertifikat gratis tanpa biaya.
Tetapi, orang-orang pintar justru memanfaatkan program itu untuk meperkaya kelompok dan pribadinya.
Sebagaimana pengakuan terdakwa Muhammad Bilal, bahwa uang 240 juta rupiah yang diterima dari terdakwa Aspah Supriadi digunakan buat biaya pelesiran timnya ke Lombok.
Tiga terdakwa itu bersama kelompoknya telah bekerja sama menerbitkan lima sertifikat tanah atas nama Aspah Supriadi tahun 2020, di atas tanah milik H. Waluyo.
Sementara diketahu bahwa H. Waluyo telah menempati lahan yang disertifikatkan itu sejak tahun 1992 sampai dengan sekarang. Tetapi ketika H. Waluyo hendak meningkatkan surat tanahnya dari Girig ke sertifikat, baru diketahu bahwa sudah ada terbit sertifikat atas nama Aspah Supriadi diatas tanahnya.
Minggu depan, JPU Yerick Sinaga, SH dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta akan menentukan sikap, berapa tahunkah tuntutan pidana yang akan dijatuhkan kepada ketiga terdakwa? Terdakwa Aspah Supriadi, terdakwa Muhammad Bilal, dan Eko Budianto duduk dikursi pesakitan PN Jakarta Utara atas dakwanan melangar Pasal 263, Jo 266 KUHP dengan ancamam pidana paling lama tujuh tahun. [stp]