Metrojakartanews.id | Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pontianak, Kalimantan Barat, Wahyudi, dituding membangkang terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) karena tidak mengeksekusi terpidana korupsi Rp4,7 miliar PT. Asuransi Jasa Indonesia, biasa disingkat Asuransi Jasindo (Persero)
“Seharusnya kejaksaan selaku eksekutor atas putusan pengadilan, melaksanakan tugasnya. Jangan malah seolah-olah rangkap job, satu sisi selaku penuntut, di sisi lain sebagai pembela,” ujar Advokat Herawan Utoro, SH selaku Kuasa Hukum PT. Surya Bahtera Sejati (SBS).
Baca Juga:
Puluhan Ribu Massa Pendukung Tumpah Ruah, Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw Kampanye Akbar di Alun-Alun Aimas
PT. SBS merupakan pemilik Kapal Tongkang Labroy 168 tenggelam di Pulau Solomon 2016 silam, yang kemudian klaim asuransinya dicairkan Asuransi Jasindo, hingga berujung ke tindak pidana korupsi.
Awalnya, ada 4 terdakwa dalam kasus pencairan klaim asuransi Rp4,7 miliar. 3 terdakwa menjadi terpidana, yaitu M. Thomas Benprang, Danang Suroso dan Rikky Tri Wahyudi.
Sementara, satu terdakwa atas nama Sudiatno als Aseng bebas dari segala tuntutan hukum.
Baca Juga:
Mahkamah Agung Kabulkan Gugatan Abdul Faris Umlati, ARUS Terus Melaju
Terhadap tiga terdakwa, MA menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Sementara terhadap terdakwa Sudianto, MA dalam putusannya menyatakan menolak permohonan kasasi penuntut umum pada Kejari Pontianak dan membebankan biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan dan pada tingkat kasasi kepada negara.
“Intinya ada 4 putusan MA saling bertolak belakang. Tiga orang dinyatakan terbukti, tapi unsur kerugian negara dan menguntungkan orang lain yaitu satu orang terdakwa Sudianto als Aseng tidak terbukti bersalah atau bebas dan uang sitaan Rp4.7 miliar dikembalikan kepada Sudianto. Jika unsur kerugian negara dan menguntungkan orang lain yaitu di perkara terdakwa Sudianto tidak terbukti atau bebas dan uang sitaan Rp4.7 miliar dikembalikan, maka berkas perkara atas nama 3 orang terdakwa itu jadi tidak terpenuhi juga,” ujar Herawan menyampaikan pernyataan Wahyudi, yang dikutip nya dari media massa.
“Karena dalam perkara penyertaan, pemenuhan unsur deliknya dilakukan oleh para pelaku penyertaan lain. Dalam perkara ini unsur kerugian negara dan menguntungkan orang lain dipenuhi oleh terdakwa Sudianto,” sambung Wahyudi, kata Herawan.
Wahyudi menegaskan pula, tambah Herawan, jika ketiga terdakwa dalam kasus tersebut dieksekusi, dimana rasa keadilan nya?
“Jika kita eksekusi, dimana rasa keadilannya,” tegas Wahyudi lagi, katanya.
Kemudian, kata Herawan, bahwa Kajari pun meminta untuk membandingkan putusan empat terdakwa. “Jadi kita bisa melihat keadilan dan kepastian hukum secara komprehensif, tidak parsial dari 3 perkara, tapi ada 4 perkara,” ucap Wahyudi.
“Jadi jaksa bukan robot yang tak punya nurani dan legal reasoning,” tegas Wahyudi.
Wahyudi juha, masih kata Herawan, mengutip arahan Jaksa Agung RI ST. Burhanuddin untuk gunakan hati nurani untuk keadilan.
“Ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP dan tidak ada dalam KUHAP, tapi ada dalam hati nurani kalian. Camkan itu!” katanya.
Kendati begitu, Wahyudi menyatakan tetap mematuhi putusan MA RI terkait tiga terdakwa yang terbukti bersalah.
Adapun alasan belum dilakukan eksekusi karena belum menerima salinan putusan tiga terdakwa dari PN Pontianak.
“Berdasarkan KUHAP, harusnya salinan putusan itu diberikan kepada kami, bukan diminta, tapi kami sudah bersurat untuk salinan putusan tersebut,” ungkap Wahyudi.
Untuk eksekusi, katanya, ada tahapan-tahapan, selain itu saat ini ketiga terdakwa juga sedang mengajukan proses PK di MA.
“Kita pun menunggu proses PK ini hasilnya apa, jika hasilnya ketiga terdakwa bersalah, maka pihaknya akan melakukan PK terhadap terdakwa Sudianto yang divonis bebas tersebut,” ujar Wahyudi.
Apa yang disampaikan Kajari Pontianak berbeda dengan PN Pontianak.
PN Pontianak melalui Plh Panitera, Syuaidi membenarkan bahwa salinan putusan sudah diterima pihaknya yakni pada Juni 2022.
“Berkas bundel A berikut salinan putusan sudah dikirim ke PN dari Mahkamah Agung, di mana sebelumnya petikan putusan terlebih dahulu sampai kepada kami pada Agustus 2021,” ujar PLH Panitera tersebut, Rabu 16 November 2022, sebagaimana disampaikan Herawan.
Lanjut Syuaidi, tentunya saat petikan putusan sudah sampai kepada pihaknya, maka pihaknya pasti akan memberitahukan kepada penuntut umum.
“Saya juga belum tahu apakah salinan putusan lengkap dari MA itu sudah sampai ke penuntut umum atau tidak, kalau petikan pasti sudah sampai ke penuntut umum,” ujarnya.
Kemudian, ditegaskannya, terkait dengan perintah MA dalam putusan untuk ketiga terdakwa yang terbukti bersalah, tentunya dapat dilakukan eksekusi.
“Proses PK yang diajukan oleh terdakwa, tidak menghalangi proses eksekusi yang dilakukan oleh penuntut umum,” tegas Syuaidi.
Apa yang dikatakan Syuaidi itu diamini Herawan. "Kami akan tagih Eksekusi ini ke jaksa agung," tegasnya.
Herawan mengatakan, baik petikan maupun salinan, kedua-duanya berisikan amar putusan. Dan salinan putusan itu harus dimohon oleh semua pihak untuk mendapatkannya.
”Salinan putusan itu, tidak sulit untuk didapatkan berbagai pihak terkait,” kata Herawan.
Herawan menilai atas pernyataan Kajari tersebut, bahwa Kajati maupun Kajari membatasi diri untuk tidak melakukan eksekusi. “Lebih tepatnya adalah tidak mau melakukan eksekusi,”ujarnya.
Menurutnya, eksekusi berdasarkan putusan lengkap dilakukan secara selektif. Namun pada umumnya menggunakan petikan putusan saja cukup.
Herawan menegaskan, pernyataan Kajati Kalbar Masyudi yang menyatakan tidak ada tempat bagi terpidana hanya omong kosong.
"Ini buktinya omong kosong! Terbukti ketiga terdakwa korupsi klaim pembayaran asuransi tersebut dapat mengajukan PK, tanpa menjalani eksekusi. Diduga ada konspirasi," tuding Herawan.
“Ini menjadi aneh, lantaran ketika tuntutan jaksa dikabulkan bahkan melebihi tuntutan awal, mengapa hasil dari penuntutan itu tidak dilaksanakan? Lalu maksud dan tujuan dari penuntutan itu apa? Yang harus dipikirkan adalah kepentingan penuntutan bukan kepentingan terdakwa,” tegas Herawan.
Herawan menegaskan, tugas jaksa adalah melakukan eksekusi bukan menunggu proses PK. Dan kejaksaan tetap harus melaksanakan eksekusi.
“PK itu tidak menjadi penghalang untuk melakukan eksekusi,” ungkap Herawan.
Dia menuding bahwa alasan-alasan yang disampaikan jaksa itu hanya karena memang tidak mau. 'Karena itu, proses eksekusi akan kami tagih kepada Jaksa Agung,” pungkas Herawan. [stp]