Metrojakartanews.id | Jaksa Agung, ST Burhanuddin, memastikan dirinya sendiri bakal memidanakan oknum jaksa atau pegawai kejaksaan yang menyalahgunakan wewenang, terbukti menerima suap, gratifikasi dalam bentuk apapun.
"Jika ada oknum jaksa atau pegawai kejaksaan terbukti bermain-main dengan perkara, salahgunakan kewenangan, melakukan perbuatan tercela, bermain proyek, menerima suap dengan suatu janji akan saya tindak tegas. Kalau perlu dipidanakan," ujar Jaksa Agung dalam arahannya kepada jajaran di kantor Kejati NTB, Selasa (29/11).
Baca Juga:
Peringati HUT ke-51, Asuransi Jasindo Gelar Kegiatan Sehat Bareng Jasindo
Pemidanaan atau penjatuhan hukuman terhadap seorang jaksa atau pegawai kejaksaan, katanya, terpaksa ditempuh untuk menciptakan efek jera, sekaligus menjadi contoh pembelajaran bagi oknum jaksa atau pegawai kejaksaan lain.
Burhanuddin yang dikenal tegas itu menyebutkan, pemidanaan/penjatuhan hukuman tetap pula menggunakan hati nurani agar tetap objektif.
“Karena sejatinya penghukuman terhadap pegawai bukanlah suatu pembalasan, melainkan cara untuk mendidik agar menjadi pribadi yang lebih baik ke depan,” ujarnya.
Baca Juga:
PK Perkara Korupsi Asuransi Jasindo Ditolak MA, Herawan : Segera Eksekusi Para Terdakwa
Saat ini, viral dan ramai dibicarakan dugaan penyalahgunaan wewenang terkait tidak dieksekusi tiga terpidana oleh eksekutor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Pontianak.
Akibatnya, Kejati Kalimantan Barat dan Kejari Pontianak dilaporkan ke Kejaksaan Agung dalam kaitan korupsi klaim pembayaran asuransi tenggelamnya kapal tongkang Labroy 168.
Ketiga terpidana itu yakni, Kepala Cabang Jasindo Pontianak, M Thomas Benprang, Kepala Divisi Klaim Asuransi Jasindo Danang Saroso, dan Direktur Teknik dan LN Jasindo Ricky Tri Wahyudi.
Ketiganya, sejak 2021, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, dan dijatuhi pidana penjara lima tahun, denda sebesar Rp200 juta, subsider 3 bulan penjara atau jalani kurungan penjara selama tiga bulan.
Ketiganya diperintahkan untuk ditahan oleh majelis hakim kasasi Mahkamah Agung (MA).
Namun, hingga kini tak kunjung dieksekusi, sehingga penasehat hukum PT SBS, Herawan Utoro, mempertanyakan apakah putusan kasasi MA itu dianggap tidak ada oleh eksekutor Kejari Pontianak dan Kejati Kalbar.
"Putusan telah berkekuatan hukum tetap, tapi ketiga terpidana dibiarkan bebas. Bahkan ketiga terpidana diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) meski tak penuhi syarat," kata Herawan Utoro.
Selain itu, kata Herawan, ada disparitas pelaksanaan eksekusi yang dilakukan Kejari Pontianak, Kejati Kalbar terhadap 4 putusan kasasi Mahkamah Agung, dimana 3 putusan tidak dieksekusi dan 1 putusan dieksekusi.
"Tiga dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana koruptor secara bersama-sama, tidak dieksekusi Kejari Pontianak. Tetapi terhadap terdakwa Sudianto yang dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana koruptor secara bersama-sama, langsung dieksekusi, yakni uang 4,7 miliar rupiah," ujar Herawan.
Herawan menjelaskan bahwa uang 4,7 miliar rupiah itu adalah uang hasil klaim asuransi tenggelamnya Tongkang Labroy 168 di Pulau Solomon oleh terdakwa Sudianto yang dicairkan PT. Asuransi Jasa Indonesia, biasa disingkat Asuransi Jasindo.
Dan uang 4,7 miliar rupiah yang disetujui pencairannya oleh terdakwa M Thomas Benprang, Danang Suroso dan Ricky Tri Wahyudi itu, dicairkan dan diserahkan kepada terdakwa Sudianto sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara.
"Ini kan menjadi aneh, Kerugian keuangan Negara diserahkan kepada terdakwa? Logikanya dimana?" tanya Herawan heran, Rabu (30/11).
Menurutnya, seyogianya uang 4,7 miliar rupiah itu disita untuk negara, bukan kepada terdakwa, karena uang negara.
Selain ke Jaksa Agung, Kejati Kalbar dan Kejari Pontianak serta Pengadilan Negeri (PN) Pontianak dilaporkan pula ke Ketua MA dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polhukam RI.
"Laporan itu kami sampaikan ke Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Polhukam RI di Jakarta, Rabu 23 Nopember, lalu," kata Herawan, Rabu, (30/11/2022)
Dugaan penyalahgunaan wewenang dan kejanggalan serta ketidakwajaran mewarnai proses hukum kasus itu. Herawan menyebutkan PK tak menghalangi eksekusi terhadap ketiga terpidana. Tetapi justru putusan MA yang sudah berkekuatan hukum pasti dan tetap dikesampingkan eksekutor dari Kejari Pontianak dan Kejati Kalbar.
Dugaan Pemerasan Berujung Kriminalisasi
Dugaan pemerasan Rp10 miliar berujung kriminalisasi diduga dilakukan oknum jaksa di Kejati Jateng terhadap seorang pengusaha asal Semarang, Agus Hartono.
Melalui kuasa hukumnya, Kamaruddin Simanjuntak, disebutkan percobaan pemerasan itu berkaitan dengan penanganan dugaan tindak pidana korupsi pada pemberian kredit dari tiga bank pelat merah ke PT Citra Guna Perkasa pada 2016.
“Jaksa (oknum) justru meminta sejumlah uang kepada klien saya yang dikriminalisasi atas kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian kredit,” kata Kamaruddin, Jumat (25/11).
Karena itu, pihaknya mengirimkan surat teguran hukum/somasi kepada oknum jaksa di Kejati Jawa Tengah. Somasi itu ditembuskan kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin, Komisi Kejaksaan, Jampidsus, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Ombudsman dan Komisi III DPR RI.
Kamaruddin meminta agar oknum jaksa Koordinator di Pidsus Kejati Jateng, Putri Ayu Wulandari, dan mantan Kajati Jateng yang sekarang menjabat Sekretaris Jampidsus Andi Herman, dan Kasi Penyidikan Pidsus Kejati Jateng, Leo Jimmi Agustinus yang diduga terlibat percobaan pemerasan dijatuhi sanksi.
“Saya meminta Jaksa Agung menonaktifkan ketiga oknum jaksa itu dan melakukan pemeriksaan serta audit investigasi atas percobaan pemerasan terhadap klien saya, Agus Hartono,” ungkap Kamaruddin.
Pengacara keluarga Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J itu menyebutkan, dugaan percobaan pemerasan itu diajukan sebagai “upeti” menghapus dua Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) perkara yang dituduhkan kepada kliennya.
Untuk satu SPDP, oknum jaksa itu meminta Rp5 miliar. Dua SPDP perkara yang dituduhkan kepada Agus Hartono, maka total uang yang diminta Rp 10 miliar.
“Oknum jaksa itu mengatakan permintaan uang atas perintah Kajati Jateng,” ujarnya.
Karena permintaan ditolak, kliennya Agus Hartono ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi. Hal itu dinilai sebagai bentuk kriminalisasi.
“Penegak hukum menyalahgunakan wewenang harus dicopot. Jika tidak, dia bisa mengulangi perbuatannya. Itu bisa menjadi preseden buruk bagi institusi kejaksaan,” ujar Kamaruddin.
Sementata, Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Jateng, Bambang Marsana, mengatakan akan melakukan pemeriksaan dan klarifikasi terhadap oknum jaksa dimaksud.
“Pimpinan memerintahkan kami untuk melakukan pemeriksaan secara profesional, transparan dan akuntabel serta akan memberikan tindakan tegas bila terbukti oknum jaksa dimaksud melakukan perbuatan tercela dalam penanganan perkara,” tuturnya.
Dia juga menyampaikan jika laporan tersangka atas nama Agus Hartono tidak benar, maka pihaknya akan mengambil tindakan tegas. Dia menilai upaya itu dilakukan semata-mata untuk menghindari jeratan hukum.
Menurut Asintel, terhadap proses penetapan tersangka atas nama Agus Hartono sudah dilakukan sesuai prosedur hukum. Pihaknya memastikan terhadap proses hukum atas nama Agus Hartono akan dilakukan pemeriksaan secara professional, transparan dan akuntabel walaupun tersangka dan penasehat hukumnya sedang mengajukan praperadilan di PN Semarang. [stp]