MetroJakartaNews.id | Empat saksi di persidangan kasus mafia tanah diminta dijadikan tersangka. Pasalnya, mereka diduga bagian dari sindikat yang berperan memuluskan pembuatan sertifikat tanah.
Hal itu dikatakan Direktur Hubungan Antar Kelembagaan Monitoring Saber Pungli Indonesia (MSPI), Thomson Gultom, usai persidangan kasus di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (6/10).
Baca Juga:
Menteri AHY Ungkap 2 Kasus Mafia Tanah di Jabar Rugikan Negara Rp3,6 triliun
"Empat saksi masing-masing, Sarifudin, Jarwanto, Makmun, dan Tamin menjadi terdakwa dalam kasus ini, bukan sebagai saksi. Keempat saksi itu adalah bagian dari sindikat itu. Merekalah yang berperan untuk memuluskan bembuatan sertifikat tanah Pak H Waluyo itu menjadi atas nama Aspah Supriadi,” tegas Thomson.
Dia meminta penyidik Polda Metro Jaya mengembangkan kasus agar mafia tanah dapat diberantas sampai ke akar-akarnya. “Kita berharap, janganlah karena keserakahan yang mengakibatkan kerugian besar terhadap orang lain,” ungkap Thomson.
Dalam persidangan, JPU Yerick Sinaga, SH dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menghadirkan 6 saksi, Inah, Muhammad Arifin, Sarifudin, Jarwanto, Makmun, dan Tamin, untuk didengarkan keterangannya terhadap terdakwa H. Aspah Supriadi (yang mensertifikatkan tanah), Eko Budianto (Anggota Panitia PTSL), dan Muhmamad Bilal (Ketua PTSL) kehadapan persidangan.
Baca Juga:
Nirina Zubir Penasaran Bukti Baru Eks ART Rebut Empat Sertifikat Tanah
Empat saksi, Sarifudin, Jarwanto, Makmun, dan Tamin membantah keterangan di BAP. Dan dari keterangan mereka di persidangan, terungkap bahwa keempatnya adalah bagian dari peneribitan sertifikat atas nama H Aspah yang dimiliki/dikuasi ole H. Waluyo berdasar girig Nomor 307.
Jarwanto mengatakan dialah ahli waris dari pemilik Girig LC 355 dengan luas 3400 meter a.n Gintong bin Gegang yang menandatangani jual beli terhadap H. aspah dengan harga 1 juta Tahun 2017.
“Saya sebagai ahli waris yang menandatangani perjanjian jual beli kepada H. Aspah Supriadi,” kata Jarwanto kepada JPU.
Saksi Jarwanto mengatakan bahwa apa yang di BAP tidak benar. Yang benar, dia membuat surat perjanjian jual beli dengan terdakwa Aspah Supriadi atas nama ahli waris Gintong bin Begang.
“Kita menanadatangani jual beli dengan Notaris di rumah H. Aspha Supriadi. Iya, kita kerumh Pak H. Aspah Supriadi tidak dikantor Notaris. Notaris yang datang ke Rumah Pak Aspah,” jawab Jarwanto kepada JPU.
Sementara sesuai dengan data di Kelurahan Semper Barat, Kec. Cilincing, Jakarta Utara bahwa Girig C355 a.n Gintong Bin Begang itu tidak terdaftar. Yang terdaftar adalah Girig 307 sebagai alas hak H. Waluyo menduduki/menguasai lahan terdaftar/tercatat di Kelurahan Semper Barat lengkap dengan peta lokasi.
Saksi kedua yang juga diduga sebagai bagian dari sindikat mafia tanah pensertifikatan lahan, Sarifudin. Ia menandatangani pernyataan bahwa tanah tidak sengketa.
Yang ketiga, saksi Makmun. Makmun mengatakan bahwa pembuatan akte jual beli dilakukan di rumah H. Aspah Supriadi.
“Waktu itu ketua RT tidak mau hadir sehingga sayalah yang menjadi saksi dalam jual beli itu di rumah Pak H. Aspah Supriadi yang katanya ada notaris,” ujar Makmun menjawab JPU.
Tetapi menurut keterangan Makmun, bahwa lahan yang ditempati H. Waluyo itu adalah hamparan rumput bukan rawa-rawa. “Namanya saja itu pak hakim kampung rawa. Tapi lahanya hamparan tanah dengan rumput yang luas,” tambah Makmun.
Yang keempat adalah saksi Tamin. Tamin melakukan pematokan terhadap lahan yang akan disertifikatkan atas nama terdakwa Aspah Supriadi.
"Iya, saya yang melakukan pematokan, ada 6 sampai 7 patok merah yang saya buat. Dan pemikiran saya kalau ada yang keberatan tentunya akan mengkomplin saat kita lakukan pematokan. Itu yang saya pahami Pak Hakim. Ternyata sampai terbitnya sertifikat tidak ada yang mengkomplin, berarti sah lah patokan yang saya buat itu. Itu pemahaman saya Pak Hakim,” ujar Tamin di persidangan.
Sementara, sebelumnya keterangan saksi Inah selaku ahli waris orang tuanya Main Bin Senen yang pemilik Girig 307 kepada H. Waluyo mengatakan bahwa H. Waluyo sudah menempati lahan yang disertifikatkan terdakwa H. Aspah Supriadi itu sejak tahun 1992.
Inah mengatakan bahwa dia menjual lahan itu hanya ke H. Waluyo dengan harga Rp2 Miliar dan tidak pernah menjual tanah itu kepada H. Aspah Supriadi.
Saksi lain, Arifin, juga mengamini keterangan saksi inah. Dia mengatakan pembayaran sudah beres Rp2 Miliar. Arifin juga mengakui bahwa H. Waluyo sudah menempati lahan itu sejak tahun 1992.
“Dulu lokasi itu masih seperti empang. Rawa-rawalah dan perlahan diurug H. Waluyo hingga menjadi tempat usaha,” ujar Arifin. [stp]