MetroJakartaNews.id | KRT Tohom Purba, Kuasa Hukum Ketua Umum Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno menegaskan bahwa biaya kerohiman sudah sempat disepakati antara pihak sebelum penertiban paksa rumah Wanda Hamidah di Cikini, Menteng Jakarta Pusat.
Dan, sebelum permasalahan sampai ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta jajarannya Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Pusat, somasi telah diberikan dua kali.
Baca Juga:
Makin Cantik, Ini Sederet Foto Putri Wanda Hamidah Noor Shalima
"Kami sudah dua kali memberikan somasi kepada pihak keluarga Wanda Hamidah, Somasi pertama sudah bertemu langsung dengan Pak Hamid, Paman Wanda yang mengaku kuasa hukum para penghuni, kami bertemu di kantor saya di Warung Buncit, dan dia sudah berterima pada saat itu soal kepemilikan yang sah dari lahah itu adalah klien kami Pak Japto," kata
KRT Tohom Purba, Kuasa Hukum Ketua Umum Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno, kepada WahanaNews.co, Sabtu (22/10/22).
"Somasi kedua, dia menjawab dengan surat tertulis, sehingga saya meminta untuk bertemu langsung, kami bertemu di kawasan Epicenterum, dan pada pertemuan itu 'sudah deal' masalah nominal biaya kerohiman untuk lima keluarga di lokasi tersebut. Tetapi tidak diindahkan hingga waktu yang ditentukan, sehingga kami meminta Pemkot Jakarta Pusat untuk mengambil langkah tegas," sambung Tohom.
Ia menjelaskan pihak Wanda sudah menggunakan lahan tersebut secara gratis selama 10 tahun dan tidak meminta izin secara layak kepada pemiliknya.
Baca Juga:
Kasus Tanah Belum Tuntas, Ini Resolusi Wanda Hamidah di 2023
Pemkot Jakarta Pusat pun, sambung Tohom, sudah melayangkan undangan Rapat Koordinasi sekaligus mediasi antara Hamid Husen dengan Japto Soelistjo Soerjosoemarno. Namun Hamid Husen atau perwakilannya tidak hadir memenuhi undangan tersebut.
“Maka, sebetulnya, seandainya Hamid Husen bisa menunjukkan alas haknya yang sah atas lahan yang dikuasainya tersebut, kami yakin tindakan pengosongan paksa itu pasti tidak akan pernah dilaksanakan,” kata Tohom.
Karena Hamid Husen tidak memiliki alas hak yang sah atas lahan yang dikuasainya tersebut, sebagaimana yang dimiliki oleh Japto, maka ini tidaklah termasuk dalam kategori “persengketaan” yang membutuhkan putusan pengadilan.
Tohom mengingatkan pada keluarga Wanda Hamidah untuk tidak melontarkan pernyataan-pernyataan berbau fitnah terhadap kliennya, baik melalui berbagai platform media sosial ataupun media massa, karena tindakan semacam demikian memiliki risiko dan konsekuensi hukum tersendiri.
“Ketimbang melakukan langkah-langkah yang sudah tidak relevan lagi dengan persoalan, sebaiknya pihak Hamid Husen mematuhi saja regulasi-regulasi yang berlaku, bila memang tidak memiliki bukti alas hak yang seimbang dengan yang dimiliki klien kami atas lahan tersebut,” demikian Tohom.
Pernyataan Tohom juga diperkuat oleh Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Jakarta Pusat Ani Suryani yang mempunyai surat tugas dari Pemprov DKI.
Ia mengatakan rumah tersebut berdiri di atas lahan seseorang yang memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) sejak 2010, kendati lahan tersebut merupakan aset negara.
Menurut Ani, rumah Wanda Hamidah dikosongkan karena pemilik SHGB akan memanfaatkan lahan tersebut. Pemilik SHGB kemudian meminta bantuan Pemerintah Kota Jakarta Pusat untuk mengosongkan lahan itu.
Di sisi lain, surat izin penghunian (SIP) milik keluarga Wanda Hamidah selaku penghuni telah habis sejak 2012.
"Pada saat tanah negara ini bebas, siapa saja boleh meningkatkannya. Nah, penghuni di sini tidak melanjutkan (SIP) itu, sehingga pada 2010, (pemilik SHGB) membeli ini. Kemudian ditertibkan karena ini tanah negara," kata Ani, Sabtu (15/10).
Ani menuturkan, pemilik SHGB telah membiarkan Wanda tinggal 10 tahun di sana sejak SIP kedaluwarsa, sambil melakukan mediasi karena lahan tersebut akan dimanfaatkan pemilik SHGB, tetapi tidak ada itikad baik hingga SP 3 dikeluarkan berujung pengosongan paksa. [stp]